Minggu, 12 Mei 2013

Bedah Buku: Perkembangan Konservasi di Indonesia

 

FORDA (Bogor, 22/04/13)_Dalam rangka memperingati 100 tahun penelitian kehutanan di Indonesia, Badan Litbang Kehutanan, Direktorat Kawasan Konservasi - PHKA, Tropenbos International (TBI) Indonesia Programme, dan Yayasan Operation Wallacea Trust (OWT) mengadakan acara bedah buku bertajuk, “Perkembangan Konservasi di Indonesia”. Bedah buku ini akan diselenggarakan di Ruang Sudiarto Badan Litbang Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor pada Jum'at 26 April 2013.
Dalam acara ini akan dibahas 4 buku, yaitu:
  1. Sang Pelopor; Peranan Dr. SH Kooders Dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia oleh Pandji Yudistira;
  2. Solusi Jalan Tengah: Esai-Esai Konservasi Alam oleh Ir. Wiratno M.Sc.;
  3. Nasionalisme Lingkungan: Pesan Konservasi Dari Lambusango oleh Dr. Edi Purwanto;
  4. Segregate or Integrate for Multifunctionality and Sustained Change Through Rubber-based Agroforestry in Indonesia and China  oleh Dr. Hesti Tata.
  5. Selain keempat buku tersebut, akan dibagikan pula Guidelines for the Identification of High Conservation Values in Indonesia (HCV Toolkit Indonesia) versi digital dan buku Panduan Restorasi Bentang Alam di Indonesia.

Kebijakan kawasan konservasi Indonesia
Sejak terbitnya UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya penunjukan dan penetapan kawasan konservasi. Sampai saat ini Indonesia tercatat memiliki 245 cagar alam, 75 suaka margasatwa, 115 taman wisata alam, 13 taman buru, 50 taman nasional, 23 taman hutan raya, dengan total luas mencapai 27,11 juta hektar hutan lindung (Statistik Kehutanan 2011). Kebijakan pemerintah Indonesia dalam pengelolaan kawasan konservasi cenderung mengarah pada sistem pengelolaan taman nasional. Lima puluh taman nasional di Indonesia total memiliki luas 16,37 juta hektar atau kurang lebih 60% dari keseluruhan kawasan konservasi di Indonesia.
Perubahan kebijakan konservasi sumber daya alam yang cukup signifikan di Indonesia, menurut Santosa (2008) antara lain: (1) Durban Accord dan Action Plan ( 2003) sebagai hasil dari Kongres Taman Nasional Dunia V pada 8-17 September 2003, yang menjadi payung untuk upaya konservasi dengan lebih menekankan nilai budaya dan spiritual konservasi, good governance, resolusi konflik, pengelolaan kolaboratif, masyarakat adat dan kawasan konservasi masyarakat; (2) Terbitnya Permenhut P.19/2004 yang menyebabkan terjadinya perubahan dari government-based management menjadi multistakeholder management atau collaborative management; (3)  Pengesahan Permenhut No. P.56/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang mengubah kebijakan yang biasanya top-down menjadi bottom-up (participatory); dan (4) Konvensi tentang Perubahan Iklim, Protokol Kyoto dan REDD plus yang memberikan ruang pembiayaan kawasan konservasi kepada pengguna karbon yang dihasilkan oleh hutan suatu kawasan.
Tataran kebijakan tersebut sayangnya belum disertai implementasi yang memadai. Menurut survei analisis RAPPAM-METT (Rapid Assessment and Prioritization of Protected Areas Management-Management Effectiveness Tracking Tool) pada 2010-2011 (Kemenhut, 2011), hampir seluruh pengelolaan TN di Indonesia dinyatakan belum efektif. Beragam penyebab diantaranya: masalah kelembagaan, lemahnya aspek legal yang terkait dengan kepastian kawasan, buruknya pengendalian konflik kawasan, lemahnya perencanaan pengelolaan yang erat kaitannya dengan keterbatasan SDM dan keterbatasan pendanaan dari pemerintah, serta ancaman tekanan jumlah penduduk yang telah mendorong munculnya konflik kawasan.

Bagaimana mengelola kawasan konservasi?
Menurut hasil pertemuan IUCN (WCC 2008) di Barcelona, pola pengelolaan kawasan konservasi bisa dilakukan secara bersama, artinya tidak melulu dikelola oleh pemerintah. Terdapat 4 pola yang telah disepakati pada pertemuan tersebut, yaitu: (1)Governance by government (sepenuhnya dikelola pemerintah). Inilah pola yang dianut di Indonesia selama ini; (2) Shared governance (dikelola bersama oleh pemerintah dan non pemerintah); (3) Private governance (dikelola individu, perusahaan, atau NGO); dan (4) Governance by indigenous peoples and local communities (dikelola oleh masyarakat lokal/asli setempat) termasuk dalam hal ini adalah CCA (Community Conserved Areas).
Manakah kolaborasi yang cocok untuk diterapkan pada kondisi sosial budaya yang berbeda-beda di seluruh nusantara? Bagaimana kini para pihak lain dapat lebih berperan,  termasuk  pemerintah  kabupaten,  kota  dan  provinsi; masyarakat  setempat, lembaga  swadaya masyarakat  (LSM), perguruan  tinggi, pihak  swasta dan pihak-pihak  lain  yang  memiliki  kepedulian  serta  komitmen  terhadap  keberadaan kawasan konservasi? Seberapa penting kegiatan pendugaan, pemantauan, dan pengelolaan wilayah dengan nilai konservasi tinggi (HCVA), yang kini mulai banyak diterapkan di wilayah produksi baik di hutan produksi hutan alam, hutan tanaman, perkebunan kelapa sawit maupun komoditas pertanian lain seperti karet dan coklat? Bagaimana pula prinsip-prinsip dan pendekatan bentang alam dapat mempertemukan kegiatan produksi dan konservasi?
Saat ini, pendekatan bentang alam yang terintegrasi (integrated landscape) telah bergulir dari tataran konsep menuju implementasi, dan agroforestry telah muncul sebagai salah satu pendekatan paling menjanjikan untuk memperkuat dan menstabilkan mata pencaharian masyarakat di sekitar kawasan konservasi dan dengan demikian menjadi salah satu solusi kompromi yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi fungsi ekosistem dan mata pencaharian lokal.
Yang tidak kalah penting pula adalah perlunya membangun semangat cinta tanah air (nasionalisme) agar setiap manusia Indonesia sadar bahwa gerakan konservasi di Indonesia bukan semata didorong oleh inisiatif global melainkan menjadi kewajiban yang melekat bagi setiap warga negara terhadap kelestarian negerinya.
Melalui acara Bedah Buku inilah diharapkan muncul berbagai gagasan dan pandangan atas berbagai masalah di atas; dari sejarah konservasi, pemikiran baru konservasi, serta pengalaman lapangan yang bertemakan penggalian jati diri konservasi Indonesia.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar