FORDA (Bogor, 22/04/13)_Dalam rangka
memperingati 100 tahun penelitian kehutanan di Indonesia, Badan Litbang
Kehutanan, Direktorat Kawasan Konservasi - PHKA, Tropenbos International (TBI)
Indonesia Programme, dan Yayasan Operation Wallacea Trust (OWT) mengadakan
acara bedah buku bertajuk, “Perkembangan Konservasi di Indonesia”. Bedah
buku ini akan diselenggarakan di Ruang Sudiarto Badan Litbang Kehutanan Jl.
Gunung Batu No. 5, Bogor pada Jum'at 26 April 2013.
Dalam acara ini akan dibahas 4 buku,
yaitu:
- Sang Pelopor; Peranan Dr. SH Kooders Dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia oleh Pandji Yudistira;
- Solusi Jalan Tengah: Esai-Esai Konservasi Alam oleh Ir. Wiratno M.Sc.;
- Nasionalisme Lingkungan: Pesan Konservasi Dari Lambusango oleh Dr. Edi Purwanto;
- Segregate or Integrate for Multifunctionality and Sustained Change Through Rubber-based Agroforestry in Indonesia and China oleh Dr. Hesti Tata.
- Selain keempat buku tersebut, akan dibagikan pula Guidelines for the Identification of High Conservation Values in Indonesia (HCV Toolkit Indonesia) versi digital dan buku Panduan Restorasi Bentang Alam di Indonesia.
Kebijakan kawasan konservasi
Indonesia
Sejak terbitnya UU No.5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pemerintah
Indonesia telah melakukan berbagai upaya penunjukan dan penetapan kawasan
konservasi. Sampai saat ini Indonesia tercatat memiliki 245 cagar alam, 75
suaka margasatwa, 115 taman wisata alam, 13 taman buru, 50 taman nasional, 23
taman hutan raya, dengan total luas mencapai 27,11 juta hektar hutan lindung
(Statistik Kehutanan 2011). Kebijakan pemerintah Indonesia dalam pengelolaan
kawasan konservasi cenderung mengarah pada sistem pengelolaan taman nasional.
Lima puluh taman nasional di Indonesia total memiliki luas 16,37 juta hektar
atau kurang lebih 60% dari keseluruhan kawasan konservasi di Indonesia.
Perubahan kebijakan konservasi
sumber daya alam yang cukup signifikan di Indonesia, menurut Santosa (2008)
antara lain: (1) Durban Accord dan Action Plan ( 2003) sebagai hasil
dari Kongres Taman Nasional Dunia V pada 8-17 September 2003, yang menjadi
payung untuk upaya konservasi dengan lebih menekankan nilai budaya dan
spiritual konservasi, good governance, resolusi konflik, pengelolaan
kolaboratif, masyarakat adat dan kawasan konservasi masyarakat; (2) Terbitnya Permenhut
P.19/2004 yang menyebabkan terjadinya perubahan dari government-based
management menjadi multistakeholder management atau collaborative
management; (3) Pengesahan Permenhut No. P.56/2006 tentang
Pedoman Zonasi Taman Nasional yang mengubah kebijakan yang biasanya top-down
menjadi bottom-up (participatory); dan (4) Konvensi tentang Perubahan
Iklim, Protokol Kyoto dan REDD plus yang memberikan ruang pembiayaan
kawasan konservasi kepada pengguna karbon yang dihasilkan oleh hutan suatu
kawasan.
Tataran kebijakan tersebut sayangnya
belum disertai implementasi yang memadai. Menurut survei analisis RAPPAM-METT (Rapid
Assessment and Prioritization of Protected Areas Management-Management
Effectiveness Tracking Tool) pada 2010-2011 (Kemenhut, 2011), hampir
seluruh pengelolaan TN di Indonesia dinyatakan belum efektif. Beragam penyebab
diantaranya: masalah kelembagaan, lemahnya aspek legal yang terkait dengan
kepastian kawasan, buruknya pengendalian konflik kawasan, lemahnya perencanaan
pengelolaan yang erat kaitannya dengan keterbatasan SDM dan keterbatasan
pendanaan dari pemerintah, serta ancaman tekanan jumlah penduduk yang telah
mendorong munculnya konflik kawasan.
Bagaimana mengelola kawasan
konservasi?
Menurut hasil pertemuan IUCN (WCC
2008) di Barcelona, pola pengelolaan kawasan konservasi bisa dilakukan secara
bersama, artinya tidak melulu dikelola oleh pemerintah. Terdapat 4 pola yang
telah disepakati pada pertemuan tersebut, yaitu: (1)Governance by government
(sepenuhnya dikelola pemerintah). Inilah pola yang dianut di Indonesia selama
ini; (2) Shared governance (dikelola bersama oleh pemerintah dan non
pemerintah); (3) Private governance (dikelola individu, perusahaan, atau
NGO); dan (4) Governance by indigenous peoples and local communities (dikelola
oleh masyarakat lokal/asli setempat) termasuk dalam hal ini adalah CCA (Community
Conserved Areas).
Manakah kolaborasi yang cocok untuk
diterapkan pada kondisi sosial budaya yang berbeda-beda di seluruh nusantara?
Bagaimana kini para pihak lain dapat lebih berperan, termasuk
pemerintah kabupaten, kota dan provinsi;
masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
perguruan tinggi, pihak swasta dan pihak-pihak lain
yang memiliki kepedulian serta komitmen
terhadap keberadaan kawasan konservasi? Seberapa penting kegiatan
pendugaan, pemantauan, dan pengelolaan wilayah dengan nilai konservasi tinggi
(HCVA), yang kini mulai banyak diterapkan di wilayah produksi baik di hutan
produksi hutan alam, hutan tanaman, perkebunan kelapa sawit maupun komoditas
pertanian lain seperti karet dan coklat? Bagaimana pula prinsip-prinsip dan
pendekatan bentang alam dapat mempertemukan kegiatan produksi dan konservasi?
Saat ini, pendekatan bentang alam
yang terintegrasi (integrated landscape) telah bergulir dari tataran
konsep menuju implementasi, dan agroforestry telah muncul sebagai salah satu
pendekatan paling menjanjikan untuk memperkuat dan menstabilkan mata
pencaharian masyarakat di sekitar kawasan konservasi dan dengan demikian
menjadi salah satu solusi kompromi yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi
fungsi ekosistem dan mata pencaharian lokal.
Yang tidak kalah penting pula adalah
perlunya membangun semangat cinta tanah air (nasionalisme) agar setiap manusia
Indonesia sadar bahwa gerakan konservasi di Indonesia bukan semata didorong
oleh inisiatif global melainkan menjadi kewajiban yang melekat bagi setiap
warga negara terhadap kelestarian negerinya.
Melalui acara Bedah Buku inilah
diharapkan muncul berbagai gagasan dan pandangan atas berbagai masalah di atas;
dari sejarah konservasi, pemikiran baru konservasi, serta pengalaman lapangan
yang bertemakan penggalian jati diri konservasi Indonesia.